Indeks Kebahagiaan & Kemiskinan yang Menganga
Kamis, 5 Maret 2015 21:30 WITA
Andi Faisal Anwar
Peminat Masalah Ekonomi Perencanaan, Anggota Jikti Sulsel
Baru-baru ini BPS Sulsel (2014) merilis berita
tentang angka indeks kebahagiaan Sulsel yang mampu mencapai angka 69,80. Sebuah
berita yang cukup menggembirakan mengingat angka tersebut dapat mengungguli
indeks kebahagiaan nasional yang hanya 68,28.
Dapat diinterpretasikan bahwa rata-rata tingkat kebahagiaan penduduk di Sulsel
jauh lebih baik dari rata-rata tingkat kebahagiaan penduduk secara nasional.
Namun, signifikansi capaian ini tampaknya tak sejalan dengan penanganan
kemiskinan yang ada di Sulsel. Hal ini tampak pada tingkat kemiskinan yang kian
menganga dan ditandai lambatnya penurunan angka kemiskinan, dimana jumlah
penduduk miskin yang telah mencapai sekitar 857.450 orang dengan presentase
kemiskinan yang masih berada pada angka 9,54 persen dibawah Sulut yang tingkat
kemiskinannya hanya 8,26 persen. Angka tersebut hanya mengalami penurunan sebesar
0,78 persen dari tahun sebelumnya
sebesar 10,32 persen (BPS,2014).
Indeks kebahagiaan yang beberapa waktu yang lalu
dipublikasikan oleh BPS, disusun berdasarkan indeks komposit tingkat kepuasan
terhadap 10 aspek kehidupan, yaitu: 1) Kesehatan, 2) Pendidikan, 3) Pekerjaan,
4) Pendapatan Rumah Tangga, 5) Keharmonisan Keluarga, 6) Ketersediaan Waktu
Luang, 7) Hubungan Sosial, 8) Kondisi Rumah dan Aset, 9) Keadaan lingkungan,
dan 10) Kondisi Keamanan. Indikator-indikator inilah yang kemudian menjadi
parameter psikologis untuk mengukur kebahagiaan penduduk. Meski, beberapa
pendapat mengaminkan bahwa kebahagiaan adalah hal yang subjektif dan
multiperesepsional. Secara keseluruhan, indikator tersebut lebih bersifat
material dan lebih dominan pada pengukuran dimensi ekonomi masyarakat.
Tapi, mahluk sosial yang seharusnya diperlakukan
lebih manusiawi. Ia lebih dalam menekankan pentingnya peningkatan kemampuan
seseorang (social capabilities) untuk mencapai kesejahtraan, dibanding apakah
seseorang itu telah sejahtra atau tidak. Ketidakberdayaan dan kemiskinan
seseorang berawal dari ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas pelayanan
kebutuhan dasar dari pemerintah. Lemahnya akses masyarakat tersebut, berbanding
lurus dengan tingkat keterbelakangan, ketidakberdayaan
hingga tingkat kemiskinan. Singkatnya, paradigma pembangunan harus mampu
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan dasar hidupnya seperti
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan dan lain-lain.
Laporan tingginya angka indeks kebahagiaan di
tengah kompleksitas kemiskinan di Sulsel, menjadi pembahasan yang cukup
menarik. Mengingat, Sulsel adalah salah satu barometer kemajuan daerah Kawasan
Timur Indonesia.
Sebagai analisis komparatif, berdasarkan data
BPS (2013) menerangkan bahwa angka kemiskinan tersebut tampak pada capaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulsel yang hanya mencapai angka 73,28 dan
secara regional Sulawesi jauh di bawah Sulut sebagai pemegang posisi nomor
wahid IPM tertinggi regional sebesar 77,36 poin. Sedangkan jika dibandingkan
dengan Sulbar, walau memiliki pencapaian terendah secara regional tapi
akselerasi peningkatannya jauh lebih tinggi dan akseleratif dari Sulsel,
mengingat peningkatan IPM Sulbar mampu mencapai 0,68 persen dari tahun
sebelumnya, sementara Sulsel hanya sebesar 0,58 persen.
Artinya, ketika pembangunan kualitas manusia di
Sulbar menunjukkan kinerja yang membaik, saat yang sama kualitas pembangunan
manusia di Sulsel berjalan lambat. Begitupun juga pada level nasional, dimana
IPM Sulsel mengalami kondisi yang sama secara nasional. Hal ini dibuktikan
dengan perolehan IPM nasional yang mampu menembus angka 73,81 poin. Kondisi ini
akhirnya memposisikan Sulsel pada rangking 19 pencapaian IPM nasional.
Capaian itu tampak buruk, hingga bisa
disimpulkan bahwa kinerja pembangunan manusia di Sulsel kurang memuaskan, baik
pada level regional maupun nasional. Implikasi dari hal ini adalah belum
maksimalnya pelayanan kebutuhan dasar penduduk di Sulsel.
Pertama, implikasinya adalah minimya perbaikan
pendidikan utamanya pada angka
melek huruf yang masih rendah, diperparah dengan rata-rata lama sekolah yang
sangat singkat. Walhasil, hal ini menjadi potret buram kondisi pendidikan
masyarakat saat ini. Jika tak tertangani secara serius, maka akan berakhir pada
kebodohan. Sementara, kebodohan adalah penyebab kemiskinan itu sendiri dan
kebodohan adalah tragedi kemanusiaan serta musuh bersama yang harus dihilangkan
dari muka bumi.
Kedua, minimnya pelayanan kesehatan masyarakat
berkontribusi terhadap rendahnya angka harapan hidup. Hal tersebut berdampak
pada produktivitas masyarakat. Masyarakat yang sakit-sakitan pada akhirnya akan
menjadi tidak produktif dan rentan terhadap kemiskinan. Olehnya itu, pemenuhan
hak dasar kesehatan adalah kewajiban dan menjadi program yang perlu mendapat
perhatian khusus karena kesehatan merupakan basic human needs.
Ketiga, akumulasi dari rendahnya pencapaian
pendidikan dan kesehatan, berdampak pada produktifitas dan daya beli masyarakat
yang ikut menurun. Hingga berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan.
Hal ini sejalan dengan Ragnar Nurkse (1953) dalam teorinya tentang lingkaran
setan kemiskinan. Anehnya, anggaran belanja pendidikan dan kesehatan dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan namun hasilnya justru tak seperti yang
diharapkan. Hal ini cukup mencemaskan, pasalnya semakin tinggi anggaran belanja
publik maka seharusnya kinerja pembangunan manusia semakin membaik dan angka
kemiskinan dapat ditekan secara maksimal. Hal ini sungguh menggelitik dan
menimbulkan tanya, bagaimana outcome program pendidikan dan kesehatan gratis
terhadap misi pengentasan kemiskinan selama ini?
Untuk itu, secara khusus aparatur dituntut
bekerja berdasarkan bukti,data, fakta dan kebutuhan. automaticlly, sisi
positifnya adalah memberikan pesan edukasi untuk membedakan kebutuhan dan
keinginan secara teliti. Mengingat,selama ini tidak sedikit program yang lahir
based on opinion dan sarat tendensi kepentingan pribadi, yang seharusnya
mengacu pada evidence based policy atau lebih dikenal perencanaan berbasis
bukti.
Premisnya, semakin tepat sebuah bukti maka
tingkat kesalahan kebijakan semakin kecil hingga stakeholders mampu mengalokasikan
kebutuhan dasar masyarakat dengan tepat sasaran (based on the target). Harapan
dari hal ini ialah peningkatan kesejahteraan, di lain hal kebahagiaan adalah
sebuah doa untuk setiap orang.(*)
http://makassar.tribunnews.com/2015/03/05/indeks-kebahagiaan-kemiskinan-yang-menganga